Pembentukan
Badan Baitul Mal di Aceh tahun 2003 adalah sebagai bagian dari pelaksanaan
syariat Islam secara kaffah. Ada kerinduan muslimin Aceh mengaktualkan kembali
institusi yang pernah eksis dalam sejarah Islam. Bahkan, kewenangan Baitul Mal
ketika itu tak sebatas mengelola harta agama, tapi berfungsi sebagai Kas Negara
(Islam).
Perjalanan
sejarah telah mengubah fungsi Baitul Mal seperti masa rasulullah dan sahabat. Kesuksesan
Baitul Mal dulu tinggal nostalgia. Dalam hal ini, Aceh kontemporer, pernah
merumuskan Baitul Mal dengan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA, 1973) yang
kemudian berubah menjadi Badan Harta Agama (BHA, 1976). Baitul Mal (Rumah
Harta) terjadi transformasi menjadi “Badan Harta Agama.”
Selanjutnya
Aceh mendapatkan momentum pelaksanaan syariat Islam secara formal dengan
disahkannnya UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
Kemudian diatur selanjutnya dengan Perda Nomor 5 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Syariat Islam. Dengan Perda inilah kembali dikukuhkan Baitul
Mal sebagai salah satu aspek syariat Islam kaffah
di Aceh.
Keputusan
Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Nomor 18 tahun 2003 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal di Provinsi NAD, Pasal 1
huruf 15 merumuskan tentang harta agama yang berwenang dikelola oleh Baitul
Mal: “Harta agama adalah infak, sedekah, waqaf, meusara, serta harta wasiat,
harta amanah, hibah yang disetor ke Badan Baitul Mal.” Harta agama termasuk
juga zakat.
Harta
agama (yang termasuk juga zakat) merupakan tugas utama Baitul Mal mengelolanya.
Hal ini dapat dilihat pada Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 18/2003 Pasal 5: “Badan
Baitul Mal mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat dan pemberdayaan
harta agama, sesuai dengan hukum syariat Islam.”
Kepgub
Nomor 18/2003 Pasal 6 lebih diperjelas fungsi Baitul Mal, sehingga dapat
diketahui bahwa fungsi Baitul Mal tidak seluas otoritas keuangan negara
(Islam). Kehadiran Baitul Mal di Aceh sebatas pengelolaan harta agama dan formulasi
ulang kewenangan BPHA atau BHA, ditambah dengan muatan ketentuan UU Nomor 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Untuk
dapat melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Kepgub 18/2003 pasal 5, Badan
Baitul Mal mempunyai fungsi: pengumpulan zakat; penyaluran zakat; pendataan
muzakki dan mustahik; penelitian tentang harta agama; pemanfaatan harta agama;
peningkatan kualitas harta agama dan pemberdayaan harta agama sesuai dengan
hukum syariat Islam.
Dengan
demikian dapat dipahami, sejak Kepgub 18/2003 ditetapkan 16 Juli 2003/16
Jumadil Awal 1424, Baitul Mal diberi kewenangan mengelola zakat, waqaf dan
harta agama lainnya. Sama halnya seperti ditetapkan dalam UU Nomor 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 191. Berbeda halnya seperti berlaku nasional
yang memisahkan badan pengelolaan zakat
oleh BAZNAS dan waqaf oleh BWI (Badan Waqaf Indonesia).
Dalam
regulasi Baitul Mal berikutnya, Qanun Provinsi NAD Nomor 7 tahun 2004 tentang
Pegelolaan Zakat yang disahkan 9 Maret 2004/18 Muharram 1425, terdapat rumusan
yang sama tentang kewenangan dan tugas Baitul Mal. Hal ini dapat dilihat pada Pasal
14: “Badan Baitul Mal mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat, pembinaan
mustahik dan muzakki serta pemberdayaan harta agama, sesuai dengan ketentuan
syariat Islam.” Harta agama yang dimaksud juga mencukup pemberdayaan waqaf.
Perluas
kewenangan
UU
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi dasar hukum yang kuat
untuk pelaksanaan syariat Islam, pengelolaan harta agama dan perwujudan
kekhususan Aceh dalam semua aspek kehidupan.
UU yang disahkan 1 Agustus 2006 ini
mengukuhkan kembali keberadaan dan kewenangan Baitul Mal, yang dapat dilihat
pada Pasal 191: “Zakat, harta waqaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal
Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.”
Dengan
dasar hukum ini, Aceh dapat mengatur secara lebih lues dan terpadu seluruh
harta agama yang ada dalam masyarakat dan menggali sumber harta agama baru
misalnya seperti dilakukan selama ini: memungut dan mengelola infak pengusaha
rekanan Pemerintah Aceh. Demikian juga telah dilakukan pengelolaan yang
terintegrasi antara zakat, waqaf dan harta keagamaan lainya.
Dari
beberapa kali “diskusi” dengan anggota DPRA seperti Abdullah Saleh dan Mahyar
Yusuf, tercetus gagasan memperluas kewenangan Baitul Mal, sehingga mencakup
pengelolaan keuangan daerah (Aceh). “Bisa saja, suatu waktu keberadaan Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Aceh diganti menjadi Baitul Mal,”
kata mereka, suatu waktu. “Kita ingin Baitul Mal di Aceh dapat kembali seperti
masa Khulafaur Rasyidin.”
Perluasan
kewenangan dan fungsi Baitul Mal secara terbatas pernah terjadi akibat gempa
dan tsunami Aceh tahun 2004, sehinga lahirlah
UU Nomor 48 tahun 2007 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2007
tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan
Nias Provinsi Sumatra Utara Menjadi Undang-Undang.
Dalam
UU yang disahkan 28 Desember 2007 ini memberi kewenangan Baitul Mal untuk
mengelola harta tanpa pemilik, harta tanpa ahli waris, mengelola simpanan nasabah
bank tanpa ahli waris dan menjadi wali pengawas terhadap anak yatim. “Tanah
yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta
agama dan dikelola oleh Baitul Mal.” (UU 48/2007 Pasal 8 ayat (1)
UU
48/2007 Pasal 18 ayat (1) mengatur lebih lanjut: “Dalam hal terdapat simpanan
dana nasabah di bank yang tidak diketahui lagi keberadaan pemilik atau ahli
waris/wali nasabah, bank menyerahkan simpanan nasabah tersebut kepada Baitul
Mal atau Balai Harta Peninggalan setelah memperoleh penetapan dari Pengadilan.”
Hal ini telah diatur mekanismenya oleh Bank Indonesia, hingga mendapat
keputusan hukum dengan ketetapan Mahkamah Syar’iyah.
Selanjutnya
UU 48/2007 Pasal 27 mengatur harta kekayaan masyarakat yang meninggal, hilang
atau tak diketahui keberadaannya akibat tsunami diawasi oleh Baitul Mal: “Harta
kekayaan yang pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya,
karena hukum, berada di bawah pengawasan dan pengelolaan Baitul Mal atau Balai
Harta Peninggalan sampai ada penetapan pengadilan.” Dalam hal ini, Baitul Mal
atau Balai Harta Peninggalan mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
ditetapkan sebagai pengelola terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui
pemilik dan ahli warisnya. Badan Harta Peninggalan berlaku bagi non muslim.
Kewenangan
Baitul Mal juga diperluas oleh UU 48/2007 dengan menjadi wali terhadap anak
yatim atau yatim piatu, serta wali pengawas. “Dalam hal pihak keluarga tidak
mengajukan permohonan penetapan wali,
maka Baitul Mal atau Badan Harta Peninggalan sebagai wali pengawas mengajukan
permohonan penetapan wali kepada Pengadilan.” Hal ini dapat dilihat pada Pasal
32 ayat (1).
Sementara
ayat berikutnya, ayat (2) memberi ruang Baitul Mal dapat proaktif melakukan
penggatian wali yang menyimpang atau tak mampu melaksanakan kewajibannya: “Permohonan
penggantian wali dapat diajukan oleh Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan
kepada Pengadilan.”
Akhirnya, dengan mengacu kepada pengalaman
sejarah pengelolaan harta agama di Aceh dan regulasi yang ada, maka Qanun Aceh
Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal pasal 8 ayat (1) menetapkan kewenangan dan
fungsi Baitul Mal sebagai berikut:
- Mengurus dan mengelola zakat, waqaf dan harta agama
- Melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat
- Melakukan sosialisasi zakat, waqaf dan harta agama lainnya
- Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nasab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum
- Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syar’iyah
- Membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan pemberdayaan umat berdasarkan saling menguntungkan.
Hanya
saja, sesuai kewenangan yang diamanahkan Qanun 10/2007 tentang Baitul Mal yang disahkan
17 Januari 2008/8 Muharram 1429, Baitul Mal belum mengoptimalkan kerjasama
dengan pihak ketiga dalam rangka pemberdayaan ummat, belum tuntasnya “sengketa”
pengelolaan waqaf dan belum bisa memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak
penghasilan sebagaimana amanah UUPA Pasal 192.
Semoga
dengan pengesahan qanun baru Baitul Mal nantinya yang telah menjadi Prolega
prioritas 20015, dapat memperkuat kewenangan dan fungsi Baitul Mal Aceh dan
Baitul Mal Kab/Kota seluruh Aceh.
Rerefensi:
- Himpunan Undang-Undang, Keputusan
Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Edaran Gubernur
Berkaitan Palaksanaan Syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005
- Himpunan Peraturan Baitul Mal,
Baitul Mal Aceh, Juli 2008
- Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Baitul Mal Aceh, Sekretariat Baitul Mal Aceh, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar