Selasa, 31 Maret 2015

Kewenangan Baitul Mal dalam Pengelolaan Harta Agama

Oleh Sayed Muhammad Husen

Pembentukan Badan Baitul Mal di Aceh tahun 2003 adalah sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Ada kerinduan muslimin Aceh mengaktualkan kembali institusi yang pernah eksis dalam sejarah Islam. Bahkan, kewenangan Baitul Mal ketika itu tak sebatas mengelola harta agama, tapi berfungsi sebagai Kas Negara (Islam).

Perjalanan sejarah telah mengubah fungsi Baitul Mal seperti masa rasulullah dan sahabat. Kesuksesan Baitul Mal dulu tinggal nostalgia. Dalam hal ini, Aceh kontemporer, pernah merumuskan Baitul Mal dengan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA, 1973) yang kemudian berubah menjadi Badan Harta Agama (BHA, 1976). Baitul Mal (Rumah Harta) terjadi transformasi menjadi “Badan Harta Agama.”

Selanjutnya Aceh mendapatkan momentum pelaksanaan syariat Islam secara formal dengan disahkannnya UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Kemudian diatur selanjutnya dengan Perda Nomor 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam. Dengan Perda inilah kembali dikukuhkan Baitul Mal sebagai salah satu aspek syariat Islam kaffah di Aceh.    
   
Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Nomor 18 tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal di Provinsi NAD, Pasal 1 huruf 15 merumuskan tentang harta agama yang berwenang dikelola oleh Baitul Mal: “Harta agama adalah infak, sedekah, waqaf, meusara, serta harta wasiat, harta amanah, hibah yang disetor ke Badan Baitul Mal.” Harta agama termasuk juga zakat.   

Harta agama (yang termasuk juga zakat) merupakan tugas utama Baitul Mal mengelolanya. Hal ini dapat dilihat pada Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 18/2003 Pasal 5: “Badan Baitul Mal mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat dan pemberdayaan harta agama, sesuai dengan hukum syariat Islam.”  

Kepgub Nomor 18/2003 Pasal 6 lebih diperjelas fungsi Baitul Mal, sehingga dapat diketahui bahwa fungsi Baitul Mal tidak seluas otoritas keuangan negara (Islam). Kehadiran Baitul Mal di Aceh sebatas pengelolaan harta agama dan formulasi ulang kewenangan BPHA atau BHA, ditambah dengan muatan ketentuan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Untuk dapat melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Kepgub 18/2003 pasal 5, Badan Baitul Mal mempunyai fungsi: pengumpulan zakat; penyaluran zakat; pendataan muzakki dan mustahik; penelitian tentang harta agama; pemanfaatan harta agama; peningkatan kualitas harta agama dan pemberdayaan harta agama sesuai dengan hukum syariat Islam.       

Dengan demikian dapat dipahami, sejak Kepgub 18/2003 ditetapkan 16 Juli 2003/16 Jumadil Awal 1424, Baitul Mal diberi kewenangan mengelola zakat, waqaf dan harta agama lainnya. Sama halnya seperti ditetapkan dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 191. Berbeda halnya seperti berlaku nasional yang memisahkan  badan pengelolaan zakat oleh BAZNAS dan waqaf oleh BWI (Badan Waqaf Indonesia).       

Dalam regulasi Baitul Mal berikutnya, Qanun Provinsi NAD Nomor 7 tahun 2004 tentang Pegelolaan Zakat yang disahkan 9 Maret 2004/18 Muharram 1425, terdapat rumusan yang sama tentang kewenangan dan tugas Baitul Mal. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 14: “Badan Baitul Mal mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat, pembinaan mustahik dan muzakki serta pemberdayaan harta agama, sesuai dengan ketentuan syariat Islam.” Harta agama yang dimaksud juga mencukup pemberdayaan waqaf.  

Perluas kewenangan

UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaan syariat Islam, pengelolaan harta agama dan perwujudan kekhususan Aceh dalam semua aspek kehidupan.  UU yang disahkan 1 Agustus 2006 ini mengukuhkan kembali keberadaan dan kewenangan Baitul Mal, yang dapat dilihat pada Pasal 191: “Zakat, harta waqaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota.”

Dengan dasar hukum ini, Aceh dapat mengatur secara lebih lues dan terpadu seluruh harta agama yang ada dalam masyarakat dan menggali sumber harta agama baru misalnya seperti dilakukan selama ini: memungut dan mengelola infak pengusaha rekanan Pemerintah Aceh. Demikian juga telah dilakukan pengelolaan yang terintegrasi antara zakat, waqaf dan harta keagamaan lainya.

Dari beberapa kali “diskusi” dengan anggota DPRA seperti Abdullah Saleh dan Mahyar Yusuf, tercetus gagasan memperluas kewenangan Baitul Mal, sehingga mencakup pengelolaan keuangan daerah (Aceh). “Bisa saja, suatu waktu keberadaan Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Aceh diganti menjadi Baitul Mal,” kata mereka, suatu waktu. “Kita ingin Baitul Mal di Aceh dapat kembali seperti masa Khulafaur Rasyidin.”     

Perluasan kewenangan dan fungsi Baitul Mal secara terbatas pernah terjadi akibat gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, sehinga lahirlah  UU Nomor 48 tahun 2007 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara Menjadi Undang-Undang.  

Dalam UU yang disahkan 28 Desember 2007 ini memberi kewenangan Baitul Mal untuk mengelola harta tanpa pemilik, harta tanpa ahli waris, mengelola simpanan nasabah bank tanpa ahli waris dan menjadi wali pengawas terhadap anak yatim. “Tanah yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal.” (UU 48/2007 Pasal 8 ayat (1)

UU 48/2007 Pasal 18 ayat (1) mengatur lebih lanjut: “Dalam hal terdapat simpanan dana nasabah di bank yang tidak diketahui lagi keberadaan pemilik atau ahli waris/wali nasabah, bank menyerahkan simpanan nasabah tersebut kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan setelah memperoleh penetapan dari Pengadilan.” Hal ini telah diatur mekanismenya oleh Bank Indonesia, hingga mendapat keputusan hukum dengan ketetapan Mahkamah Syar’iyah.       

Selanjutnya UU 48/2007 Pasal 27 mengatur harta kekayaan masyarakat yang meninggal, hilang atau tak diketahui keberadaannya akibat tsunami diawasi oleh Baitul Mal: “Harta kekayaan yang pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya, karena hukum, berada di bawah pengawasan dan pengelolaan Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan sampai ada penetapan pengadilan.” Dalam hal ini, Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk ditetapkan sebagai pengelola terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahli warisnya. Badan Harta Peninggalan berlaku bagi non muslim.  

Kewenangan Baitul Mal juga diperluas oleh UU 48/2007 dengan menjadi wali terhadap anak yatim atau yatim piatu, serta wali pengawas. “Dalam hal pihak keluarga tidak mengajukan permohonan  penetapan wali, maka Baitul Mal atau Badan Harta Peninggalan sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada Pengadilan.” Hal ini dapat dilihat pada Pasal 32 ayat (1). 

Sementara ayat berikutnya, ayat (2) memberi ruang Baitul Mal dapat proaktif melakukan penggatian wali yang menyimpang atau tak mampu melaksanakan kewajibannya: “Permohonan penggantian wali dapat diajukan oleh Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan kepada Pengadilan.”  
       
Akhirnya, dengan mengacu kepada pengalaman sejarah pengelolaan harta agama di Aceh dan regulasi yang ada, maka Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal pasal 8 ayat (1) menetapkan kewenangan dan fungsi Baitul Mal sebagai berikut:

  1. Mengurus dan mengelola zakat, waqaf dan harta agama
  2. Melakukan pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat
  3. Melakukan  sosialisasi zakat, waqaf dan harta agama lainnya
  4. Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nasab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum
  5. Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan Mahkamah Syar’iyah
  6. Membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan pemberdayaan umat berdasarkan saling menguntungkan.

Hanya saja, sesuai kewenangan yang diamanahkan Qanun 10/2007 tentang Baitul Mal yang disahkan 17 Januari 2008/8 Muharram 1429, Baitul Mal belum mengoptimalkan kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka pemberdayaan ummat, belum tuntasnya “sengketa” pengelolaan waqaf dan belum bisa memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan sebagaimana amanah UUPA Pasal 192.

Semoga dengan pengesahan qanun baru Baitul Mal nantinya yang telah menjadi Prolega prioritas 20015, dapat memperkuat kewenangan dan fungsi Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kab/Kota seluruh Aceh.            

Rerefensi:
-   Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Edaran Gubernur Berkaitan Palaksanaan Syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005
-        Himpunan Peraturan Baitul Mal, Baitul Mal Aceh, Juli 2008
-      Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Baitul Mal Aceh, Sekretariat Baitul Mal Aceh, 2012



   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami Ma’had Tahfidz

Oleh: Sayed Muhammad Husen Tim Verifikasi Banda Aceh dan Aceh Besar Baitul Mal Aceh (Tim Abes) melakukan verifikasi calon mustahik penerima...